
oleh Muhamad Caesario Al Haris
Mahasiswa Jurusan Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Jakarta
Pertanian sebagai sektor vital yang menopang ketahanan pangan nasional kini berada dalam situasi genting. Di tengah arus pesat digitalisasi yang membuka banyak kemungkinan baru, pertanian Indonesia justru dihadapkan pada persoalan serius: menurunnya jumlah petani muda. Sebagian besar petani di negeri ini berusia di atas 45 tahun, sementara proporsi generasi muda yang terlibat di dunia tani terus menurun. Data Badan Pusat Statistik (2023) menunjukkan bahwa hanya sekitar 15 persen petani yang berusia di bawah 35 tahun, sementara sisanya didominasi oleh kelompok usia lanjut. Ini mengindikasikan bahwa tanpa langkah nyata, keberlanjutan sektor pertanian terancam.
Generasi milenial sejatinya menyimpan potensi besar untuk mengubah wajah agribisnis Indonesia. Mereka hidup di tengah revolusi digital, terbiasa dengan teknologi, dan memiliki pola pikir yang inovatif serta berorientasi pada solusi. Dengan pendekatan yang tepat, pertanian bisa menjadi ruang ekspresi sekaligus ladang ekonomi baru bagi anak muda. Kini, agribisnis bukan lagi tentang kerja fisik berat di lahan, tapi telah berevolusi menjadi dunia yang juga mencakup startup, e-commerce pertanian, pengembangan produk olahan lokal, hingga konten kreatif bertema pertanian yang viral di media sosial.

Salah satu contoh keberhasilan nyata adalah TaniHub, platform yang dibangun oleh Tommy Wattimena. Startup ini berhasil menghubungkan langsung petani dengan pasar konsumen secara digital, mengurangi ketergantungan pada tengkulak, dan meningkatkan margin keuntungan petani hingga 20 persen lebih tinggi dibanding jalur distribusi konvensional (data 2022). Kisah seperti ini menunjukkan bahwa teknologi mampu menjadi jembatan antara dunia pertanian dengan kemajuan zaman.
Selain itu, praktik urban farming kini menjadi alternatif populer di kalangan milenial perkotaan. Mengolah lahan terbatas seperti atap rumah atau pekarangan menjadi kebun hidroponik yang produktif bukan hanya menjawab tantangan keterbatasan lahan, tapi juga memperkuat tren hidup sehat dan mandiri pangan. Komunitas seperti Jakarta Berkebun menjadi wadah yang menarik bagi generasi muda yang ingin mulai belajar bertani secara modern.
Meski demikian, semangat untuk masuk ke dunia agribisnis masih terganjal oleh berbagai hambatan struktural. Akses modal yang terbatas, sulitnya memperoleh lahan, hingga infrastruktur dasar yang belum merata seperti irigasi dan koneksi internet menjadi tantangan berat bagi milenial yang ingin serius berkiprah di sektor ini. Tak hanya itu, persepsi masyarakat yang masih memandang profesi petani sebagai jalan buntu secara ekonomi turut mempengaruhi pilihan karier generasi muda.

Padahal, di negara-negara maju seperti Jepang, pertanian telah lama bertransformasi menjadi sektor yang berteknologi tinggi dan menarik bagi kaum muda. Dengan sistem robotik dan pertanian presisi, Jepang mampu menciptakan model pertanian modern yang menarik secara finansial dan profesional. Indonesia harus mulai membangun narasi baru bahwa bertani bukan hanya profesi penting, tetapi juga penuh peluang dan prestise.
Reformasi pendidikan di bidang pertanian menjadi kunci penting. Kurikulum harus diperbarui agar selaras dengan perkembangan industri dan teknologi terkini. Selain materi teknis, pelatihan kewirausahaan, digitalisasi pertanian, dan pengalaman magang di startup agritech akan membekali generasi muda dengan kemampuan yang relevan. Program seperti Youth Entrepreneurship and Employment Support Services (YESS) dari Kementerian Pertanian sudah menjadi langkah awal yang baik, meski skalanya perlu diperluas agar lebih berdampak secara nasional.
Solusi strategis lainnya adalah mempermudah akses lahan bagi petani muda. Pemerintah bisa memanfaatkan tanah negara yang tidak produktif melalui skema sewa murah atau membentuk kawasan pertanian berbasis pemuda dengan dukungan pelatihan, permodalan, dan pasar. Model seperti ini telah sukses diterapkan di beberapa negara Asia seperti Korea Selatan dan Thailand, yang menyediakan ruang khusus bagi inovasi pertanian generasi muda.

Keterlibatan sektor swasta pun sangat krusial. Melalui program CSR atau kemitraan bisnis, perusahaan bisa mendukung tumbuhnya ekosistem agribisnis milenial. Selain itu, peran komunitas agribisnis seperti HIPMI Pertanian dan forum petani muda menjadi penggerak perubahan di akar rumput. Mereka menyediakan ruang berbagi ilmu, kolaborasi bisnis, hingga membangun jejaring pasar yang kuat.
Di sisi lain, masyarakat juga memiliki peran penting dalam mendukung perubahan ini. Mengapresiasi produk lokal, membeli langsung dari petani atau platform pertanian digital, serta mengangkat kisah sukses petani muda di media sosial dapat mendorong perubahan cara pandang terhadap dunia pertanian. Orang tua juga perlu membuka diri dan mendukung anak-anak mereka yang ingin menjadikan pertanian sebagai profesi masa depan.
Revitalisasi agribisnis milenial bukanlah wacana kosong, melainkan sebuah keharusan untuk memastikan keberlanjutan pangan bangsa. Ini harus menjadi agenda kolektif yang melibatkan pemerintah, swasta, akademisi, komunitas, dan masyarakat luas. Sinergi yang kuat akan menghasilkan generasi petani baru yang cerdas, berdaya saing, dan mampu membawa sektor pertanian Indonesia naik kelas.
Kini saatnya menghapus anggapan bahwa pertanian adalah profesi terbelakang. Justru sebaliknya, pertanian adalah sektor masa depan yang menunggu disentuh oleh kreativitas dan energi generasi milenial. Dengan visi yang jelas, dukungan teknologi, dan semangat kolaboratif, para pemuda hari ini bisa menjadi pionir agribisnis yang membangun negeri dari ladang-ladang harapan.


 
     
                                 
                                 
                                 
                                 
                                