Teh Hitam Indonesia: Dari Warisan Rasa ke Persimpangan Daya Saing Dunia


oleh Airra Intanoor Fatiha
Mahasiswi Jurusan Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Jakarta

Secangkir teh hitam mungkin tak lebih dari teman santai saat hujan atau pengantar obrolan sore. Namun siapa sangka, di balik warna pekat dan rasa khasnya, tersembunyi cerita panjang tentang ekspor, ekonomi, bahkan diplomasi perdagangan Indonesia. Teh hitam bukan sekadar warisan tradisional, tetapi juga senjata dagang yang kini mulai kehilangan taji di tengah ketatnya persaingan global. Dulu, kejayaan teh Indonesia begitu harum. Teh dari Jawa dilelang di Amsterdam, menjadi komoditas bernilai tinggi yang diperbincangkan di meja-meja bangsawan Eropa.

Kini, situasinya berubah drastis. Lahan-lahan teh beralih fungsi, ekspor menurun, dan dominasi pasar mulai bergeser ke negara-negara lain seperti India, Kenya, dan Sri Lanka. Padahal, lebih dari 80 persen ekspor teh Indonesia masih bertumpu pada teh hitam. Artinya, jika teh hitam goyah, seluruh fondasi ekspor teh nasional pun ikut terguncang. Ironisnya, tren global justru sedang berpihak pada minuman ini. Di tengah gelombang gaya hidup sehat, konsumsi teh meningkat pesat. Data dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) mencatat pertumbuhan konsumsi teh sebesar 3,5 persen selama satu dekade terakhir, dan angka ini diprediksi naik sekitar 2 persen per tahun.

Teh bukan hanya tentang tradisi—ia telah menjadi simbol kebugaran dan keberlanjutan hidup. Di negara berkembang, permintaan semakin tinggi. Sementara di negara maju, meski pasar cenderung jenuh, varian teh sehat seperti teh hijau dan herbal terus menjadi tren. Dalam beberapa tahun terakhir, bahkan muncul tren baru seperti cold brew tea dan ready-to-drink tea dalam kemasan modern, yang menyasar segmen milenial dan Gen Z yang lebih sadar akan gaya hidup sehat namun praktis.

Penyebab Mengapa Indonesia Tertinggal

Sebagai negara tropis dengan kekayaan alam melimpah, Indonesia seharusnya jadi raja di pasar teh dunia. Perkebunan-perkebunan teh membentang di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, hingga Bengkulu—daerah-daerah dengan tanah dan iklim yang nyaris sempurna untuk tanaman ini. Tapi dalam realitasnya, ancaman justru datang dari dalam. Konversi lahan ke komoditas seperti sawit dan hortikultura terus menggerus area tanam teh. Produktivitas stagnan. Inovasi berjalan lambat. Dan yang paling fatal: nilai ekspor mulai menurun.

Padahal, cita rasa teh hitam Indonesia punya karakter unik. Proses fermentasi penuh menghasilkan rasa yang kuat dan aroma yang sulit dilupakan. Tak heran, negara-negara seperti Malaysia, Rusia, Amerika Serikat, Tiongkok, dan Taiwan menjadi pasar utama ekspor. Selama lima tahun terakhir, kontribusi teh hitam tetap dominan mencapai 87 persen dari total ekspor teh Indonesia. Sayangnya, dominasi itu tak lagi stabil. Tahun 2020, ekspor sempat naik menjadi 45.000 ton dengan nilai US$96 juta. Namun hanya setahun berselang, angka itu kembali turun. Volume ekspor menyusut 5,82 persen, nilainya merosot menjadi US$89 juta. Dan yang lebih mencengangkan: nilai impor teh justru lebih tinggi dari ekspor. Sebuah sinyal keras bahwa neraca perdagangan teh Indonesia sedang tidak sehat dan memerlukan intervensi segera.

Untuk menjawab tantangan ini, para peneliti menggunakan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) sebagai alat ukur. RCA menunjukkan seberapa kompetitif sebuah produk dibandingkan pesaing globalnya. Hasilnya memang masih menunjukkan bahwa teh hitam Indonesia punya daya saing—nilai RCA di lima negara tujuan utama masih di atas satu. Tapi tren penurunannya tak bisa diabaikan. Di Jerman, misalnya, nilai RCA jatuh dari 17,6 menjadi hanya 3,88 dalam satu dekade. Penurunan drastis juga terjadi di Rusia dan China.

Apa penyebabnya? Ada banyak. Mulai dari kualitas teh yang tidak merata, kebijakan pajak ekspor seperti PPN 10 persen, hingga minimnya efisiensi dalam produksi dan pengemasan. Bahkan, masih banyak teh kualitas rendah yang lolos ke pasar luar—hal yang jelas merusak reputasi produk kita sendiri. Sertifikasi mutu dan kontrol kualitas yang ketat harus segera diperkuat agar posisi Indonesia tidak terus tergerus.

Analisis lebih lanjut menggunakan metode Relative RCA (RSCA) pun menguatkan hal tersebut. Nilai RSCA Indonesia di pasar ekspor utama masih positif—artinya Indonesia masih punya keunggulan komparatif. Tapi lagi-lagi, tren di beberapa negara seperti China menunjukkan kemerosotan. China sendiri mulai mengalihkan minat ke teh hijau, menyisakan teh hitam kita dalam bayang-bayang.

Satu hal yang menarik, dari data korelasi antara ekspor dan daya saing, terlihat bahwa peningkatan ekspor di negara seperti Amerika Serikat, Jerman, dan China berbanding lurus dengan peningkatan posisi kompetitif Indonesia. Artinya, ketika kita meningkatkan kualitas dan volume ke negara-negara ini, daya saing ikut terdongkrak. Namun situasi berbeda terjadi di Rusia dan Australia, di mana hubungan antara ekspor dan daya saing tidak terlalu kuat. Hal ini menunjukkan bahwa strategi di tiap negara tujuan ekspor tidak bisa disamaratakan—harus disesuaikan dengan karakter pasar masing-masing dan pola konsumsi masyarakat lokal yang unik.

Bagaimana Penanganannya?

Meningkatkan kualitas adalah langkah pertama yang tak bisa ditawar. Mulai dari budidaya ramah lingkungan, teknik petik selektif, hingga pengolahan dan pengemasan yang higienis dan menarik. Kualitas bukan hanya soal rasa, tapi juga soal standar dan persepsi di mata dunia. Di era sekarang, konsumen tak hanya membeli produk—mereka membeli cerita, nilai, dan pengalaman. Maka, asal-usul teh Indonesia, sejarahnya, bahkan kisah para petani perlu dikemas sebagai bagian dari branding.

Di sisi lain, teknologi juga harus dilibatkan. Produksi manual yang tidak efisien harus mulai ditinggalkan. Mesin, riset varietas, dan sistem distribusi modern harus menjadi bagian dari transformasi industri teh. Inovasi produk menjadi kunci pembuka pasar baru—teh organik, teh fungsional, teh beraroma khas lokal—semuanya punya peluang besar di era konsumen yang makin selektif.

Digitalisasi juga tak kalah penting. Pasar teh global kini tak lagi hanya di etalase supermarket, tetapi juga di Instagram, TikTok, Shopee, dan Amazon. Produk teh Indonesia harus mampu tampil di panggung digital dunia, dibungkus dengan estetika yang menggoda dan cerita yang menggugah. Kampanye visual yang menarik dan narasi yang autentik dapat menjadi senjata baru untuk menembus pasar generasi muda yang sangat visual dan terhubung secara daring.

Tentu semua ini tidak bisa dilakukan sendiri. Pemerintah, eksportir, asosiasi petani, bahkan kampus dan lembaga riset harus bahu-membahu. Sinergi menjadi kata kunci. Regulasi yang mendukung, insentif untuk inovasi, dan perlindungan lahan perkebunan harus berjalan seiring dengan upaya peningkatan kapasitas pelaku usaha kecil di sektor ini.

Saat ini, teh hitam Indonesia sedang berada di titik krusial. Pilihannya hanya dua: bangkit dan berinovasi, atau perlahan tergeser dan kehilangan pijakan. Menakar ulang daya saing teh hitam bukan lagi sekadar wacana akademik—ini soal menjaga identitas, ekonomi rakyat, dan peluang ekspor di masa depan.

Karena siapa tahu, dari secangkir teh hitam itulah, dunia kembali mengenal Indonesia bukan hanya lewat rasa, tapi lewat kualitas dan nama baik yang terus harum di pasar dunia.

By Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Menarik Lainnya